Ujian Nasional dan Peranan (Setengah) Guru

Oleh : Syafbrani | 03-Apr-2013, 09:34:13 WIB
KabarIndonesia - April sudah masuk. Bagi sekolah, kedatangan bulan keempat ini memberikan sebuah pertanda. Sebuah peringatan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional (UN) semakin mendekat. Dipastikan pelaksanaan UN untuk tingkat SMA dan SMP berturut-turut akan dimulai pada 15 dan 22 April. Kemudian disusul tangal 6 Mei untuk tingkat SD.

Bola UN yang semakin menggelinding ini semakin menubruk daya sensitif setiap satuan pendidikan. Karena di entitas itulah siswa ditempa.  Secara perspektif pembelajaran yang sudah jamak, di tangan para gurunyalah UN itu dipertaruhkan.

Meskipun kelulusan UN diujikan dengan naskah soal standar nasional. Namun kini penentuan kelulusannya sudah diikutkan dengan campur tangan nilai guru. Tidak tahu persis apa alasan pembagian sumbangsih penilaian ini. Apakah hanya sekedar memuaskan pihak sekolah agar proyek tahunan UN tetap lancar?

Pastinya peranan gurupun semakin dipandang lebih untuk memberikan kontribusi penilaian pada ujian yang tidak hanya memacu adrenalin siswa ini. Tapi juga orang tuanya, sekolah, bahkan pemimpin daerahnya ikut-ikutan. Intinya guru telah diberi peranan, meski setengah. Barangkali cukuplah!

Pandangan mengenai peranan guru terhadap kualitas pendidikan bukanlah berita baru. Sudah sejak dulu guru digadangkan sebagai penentu dari keberhasilan para siswa. Begitu juga untuk keberhasilan pendidikan itu sendiri.  Akibatnya jika mencuat suatu kegagalan. Dapat dipastikan pandangan yang meminta pertanggungjawaban selalu diarahkan kepada guru. Guru menjadi na'as karena mendapat sorotan. Asas praduga tak bersalah lenyap menjadi sebuah kesimpulan sempurna. Gurulah yang salah. Sayangnya, ketika keberhasilan yang tercipta. Guru hanya bisa tersenyum lega di tengah banyak pihak yang merasa diri turut berpartisipasi aktif menciptakan keberhasilan itu.

Setengah-Setengah
Sebagai penguatan profesionalisme. Ketentuan agar para guru lebih menghargai proses. Mengedepankan pembelajaran yang humanis. Mengakamodir setiap kapasistas dan kreatifitas yang dimiliki peserta didik. Serta beragam arahan lainnya yang bertujuan untuk mencapai pendidikan paripurna. Sangat diyakini, dengan jiwa ketulusan para guru bersepakat untuk mencapai tujuan muliah tersebut.

Tidak cukup dengan ketentuan itu. Guru juga diberi kebebasan mengelaborasi kehendak positifnya untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran. Guru diberi kesempatan lebar untuk merancang agenda pendidikan. Kreatifitas yang muncul diharapkan dapat menghadirkan sebuah inovasi dalam dunia pembelajaran. Sebagai jawaban terhadap kejemuan siswa -mungkin juga guru- atas berbagai ritual yang terjadi di sekolah selama ini.

Tapi semuanya punah ketika pendidikan telah dicampur adukkan dengan kepentingan pragmatis dan pesan polits. Semua habis berantakan ketika pendidikan telah dijadikan mesin produksi yang ditargetkan mencapai produk pesanan. Semua lenyap seketika ketika berbagai tawaran menggiurkan diberikan sebagai imbal jasa atas ketercapaian recana. Pandangan kembali datang kepada sosok guru agar bisa bekerjasama untuk mencapai target kelulusan.  Kerja keras guru dinanti.

Akibat dari cara pandang yang demikian. Tak heran jika semakin mendekatnya bunyi bel UN. Guru dipaksakan sibuk dengan rencana sekaligus aksi untuk menghindari luapan kegagalan itu. Kelulusan hanyalah jalan untuk menyelamatkan muka, harga diri bahkan nyawa. Kemudian yang terjadi adalah menciptakan suasana pembelajaran yang berorientasi pada angka kelulusan. Mau bagaimana lagi? Toh itu sudah menjadi sebuah ketentuan. Sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. 

Penguatan peran yang bertujuan untuk mencapai keprofesionalan hanya menjadi format baku. Tataran praktisnya sangat jauh bertentangan. Kesan tidak sepenuh hati memberikan sebuah pengakuan kepada profesi guru sangat jelas. Pengabdian sudah terlanjur terjadi. Memilih untuk melawan bukanlah pilihan di saat kewajiban hidup semakin liar hadir.


Konsekuensi dari perlawanan meskipun melawan sisi yang tidak benar hanya menjadi bumerang hidup. Pilihanpun dijatuhkan pada aksi berdiam diri. Ikuti alur cerita, walau harus berperan menjadi aktor utama. Sebuah kewajaran yang akhirnya menghasilkan kerja setengah hati.

Kapan Menjadi Satu?
Semakin dibiarkan larut, dunia pembelajaran akan semakin tersesat dalam mencapai tujuannya. Fakta semakin membuktikan hampir tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan sebuah sikap terdidik.  Apalagi untuk mencapai sebuah tatanan peradaban. Pendidikan nyaris tidak memberi arti untuk mendulang manusia beradab.

Sebaliknya dapat dengan jelas disaksikan justru kebiadaban dinakhodai oleh kalangan terdidik. Sekolah sebagai ajang penempaan diri agar menjadi lebih baikpun tidak lepas dari musibah amoral. Begitu juga dengan pendidikan tinggi yang diharapkan lebih memberi arti. Justru senantiasa dihebohkan dengan berbagai kasus yang bertolak belakang dengan gelar ilmiah kesarjanaannya.

Menjawab beragam hubungan pendidikan yang berlawan dengan tujuannya. Mulai sekarang pemerintah hendaklah memberikan kewenangan sepenuh hati kepada guru. Kewenangan yang tidak beriringan dengan mengkebiri. Tidak setengah lagi, tapi satu dan utuh. Atau jika ingin ekstrim lebih baik jalankan saja sistem diktatorisme dalam sistem pendidikan. Mungkin ini lebih baik dari pada diberi kebebasan semu. Kebebasan yang selalu diiringi dengan sikap setengah-setengah. Setengah nurut, setengah mendongkel di hati.

Dan gurupun harus sudah mulai lebih tegas membataskan garis profesinya. Totalitas dalam menjalankan profesi haruslah menjadi pilihan. Adapun hadirnya sebuah resiko adalah sebuah kewajaran. Atas nama harga diri profesi, sudah sepantasnya guru tidak lagi bertindak setengah-setengah itu. Secara nurani kata ‘ya' dan ‘tidak' tidak pernah salah penempatan. Hanya karena sesuatu hal, akhirnya lontaran suara berbeda dengan pandangan jiwa.

Semestinya jika  ya, lakukan dengan sepenuh hati. Jika tidak, suarakan juga dengan sepenuh hati. Apalagi dalam payung hukumnya, guru mempunyai peranan atas setiap kebijakan pendidikan yang lahir.

Alangkah indahnya jika pendidikan di negeri ini tidak berjalan dengan agenda basa-basi. Tapi utuh untuk meciptakan para intelektual yang beradab. Baik kepada penciptaNya, sesama manusia, dan kepada alam tempat hidupnya. Guru tidak akan lagi bekerja dengan setengah hati akibat kebijakan yang setengah-setengah. Termasuklah ketika menghadapi Ujian (Setengah) Nasional.  (*)


Syafbrani, Pendidik, Koordinator Education Analyst Society (EDANS)




Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

Komentar

Postingan Populer